The Power of an Image — and the Mind behind It | Misan Harriman | TED

Translator: kartini rahmatillah Reviewer: Evarini Dairi

There are so many strong opinions about how bad the internet has become.

Ada begitu banyak opini tajam soal keburukan internet.

How it has weaponized mediocrity.

Bagaimana internet dipakai sebagai senjata konten medioker.

Normalized mis- and disinformation.

Menormalisasi disinformasi.

But for me,

Namun bagi saya,

the information superhighway has always been my savior.

internet jadi sumber informasi cepat yang selalu menjadi penyelamat saya.

As a little boy,

Saat masih kecil, dari Nigeria saya disekolahkan

I was sent from Nigeria to boarding school in the English countryside.

di sekolah asrama di pedesaan Inggris.

It was like "Harry Potter" without the magic.

Seperti “Harry Potter” tanpa sihir.

(Laughter)

(suara tertawa)

It was a confusing and troubling time

Itu adalah masa yang membingungkan dan sulit

for an already sensitive little boy who was far from home.

bagi anak laki-laki sensitif yang harus jauh dari rumah.

I was more like

Saya merasa seperti

an exotic animal in a petting zoo rather than a student.

hewan eksotis di kebun binatang, daripada seorang siswa.

And to top it off, I'm dyslexic

Buruknya lagi, saya mengidap disleksia

and today what would be described as neurodiverse,

kini, istilah itu disebut neurodiversitas,

which for me meant that the classroom was impossibly slow

bagi saya, pelajaran di kelas sangat lambat

and my brain was not capable of assimilating how they were teaching me.

dan otak saya tidak mampu menyerap materi yang diajarkan.

So for a big part of my life,

Jadi sebagian besar hidup saya,

I was ashamed of my own mind.

Saya malu dengan pikiran sendiri.

And if I'm being honest, I was ashamed of myself.

Jujur, saya malu dengan diri saya.

Luckily, the internet had other ideas.

Untungnya, internet punya ide lain.

Every time I consumed something online, my brain felt alive.

Tiap kali menghabiskan waktu secara daring, otak saya terasa hidup.

It was an awakening of sorts.

Seperti sebuah kebangkitan.

And luckily for me,

Dan untungnya,

I am the right age to have discovered the internet in that very, very moment.

Pada saat itu, saya ada di usia yang tepat untuk mengenal internet.

So what did I start doing?

Jadi, apa yang pertama saya lakukan?

I started realizing how my mind worked.

Saya mulai menyadari cara kerja otak saya.

How I could assimilate audiovisual experiences intensely.

Bagaimana saya bisa mencerna pengalaman audiovisual secara intens.

How I could name a song within the first second or the first note.

Bagaimana saya tahu sebuah lagu hanya dari satu dua nada saja.

Or talk about scenes in films like I lived them.

Atau dialog adegan film seakan saya yang mengalaminya.

And how overwhelmingly powerful artistic experiences were for me.

Ini adalah pengalaman artistik luar biasa bagi saya.

This became my savior.

Ini menjadi penyelamat saya.

And I wanted to share it with my friends.

Dan saya ingin berbagi dengan teman-teman.

So pop ballads like "More Than Words" by Extreme.

Misal lagu pop balada “More Than Words” dari grup Extreme.

Street poetry like “Brenda’s Got a Baby” by Tupac.

Puisi jalanan “Brenda’s Got a Baby” oleh Tupac.

Films like "The Last of the Mohicans,"

Film seperti “The Last of the Mohicans,”

"Love Jones,"

“Love Jones,”

and of course, "Cinema Paradiso."

dan tentu saja, “Cinema Paradiso.”

These experiences were way more than entertainment for me.

Pengalaman ini lebih sekadar hiburan bagi saya.

I was being raised by these experiences,

Saya dibesarkan dengan pengalaman ini,

and I needed to share it with as many people as possible.

dan saya perlu membagikannya pada banyak orang.

So my friends would come with their hard drives,

Banyak teman saya yang datang dengan perangkat keras,

and I would download and share pictures and poetry and film for them.

dan saya akan mengunduh, berbagi foto, puisi dan film untuk mereka.

For me, the internet had become an endless library of the extraordinary.

Bagi saya, internet bagaikan perpustakaan luar biasa tanpa batas.

And I didn't just have the keys to this library.

Saya tidak hanya punya kunci untuk masuk ke dalamnya.

I lived there.

Saya tinggal di dalamnya.

We would talk about Fela Kuti, Joni Mitchell, Neil Young.

Kami bicara soal Fela Kuti, Joni Mitchell, Neil Young.

These were my heroes.

Mereka semua adalah pahlawan saya.

These were the souls that have found the blueprint

Mereka adalah jiwa-jiwa yang telah menemukan cetak biru

of how to do and win in this thing called life.

soal cara menjalani dan menaklukkan kehidupan.

It also saved my mental health.

Itu juga menyelamatkan kesehatan mental saya.

The dancing of Misha Baryshnikov

Tarian Misha Baryshnikov

was for me, like watching a perfect sunset.

buat saya, laksana melihat matahari terbenam yang sempurna.

The voice of Sarah Vaughan was my North Star.

Suara Sarah Vaughan laksana bintang utara saya.

And of course, the words of Pablo Neruda?

Dan tentu saja, kata-kata Pablo Neruda?

Well, that will always be medicine for my soul.

Itu akan selalu menjadi obat bagi jiwa saya.

So,

Jadi,

how did I get to be this great observer of content

bagaimana saya bisa menjadi pengamat konten yang hebat

and become an artist?

dan menjadi seorang seniman?

It was just sharing images.

Semua hanya dengan berbagi foto.

And one of the images I shared all the time was this image

Salah satu foto yang sering saya bagikan

of Coretta Scott King.

adalah foto Coretta Scott King.

This image was taken by Moneta Sleet Jr.,

Foto ini dibuat oleh Moneta Sleet Jr.,

the first Black man to win a Pulitzer for photography.

pria kulit hitam pertama yang memenangi Pulitzer untuk fotografi.

This image almost didn't happen because unbelievably,

Foto ini hampir saja tidak terwujud karena saking hebatnya,

no Black media was invited

tidak ada media kulit hitam yang diundang

to photograph the funeral of Dr. Martin Luther King.

untuk memotret pemakaman Dr. Martin Luther King.

When Coretta Scott realized, she said,

Saat Coretta Scott menyadarinya, dia berkata,

"No one's coming into this church if Moneta Sleet is not allowed."

“Tak ada yang datang ke gereja ini jika Moneta Sleet tidak diijinkan.”

And thank the heavens that he was,

Syukurlah, dia datang,

because it was his lens that captured the grace

karena dari lensanyalah tertangkap keanggunan

and somehow, on an unimaginable day,

dan di hari yang tak terbayangkan,

the strength of Coretta Scott King

kekuatan Coretta Scott King

on the funeral of her husband with her baby girl, Bernice, in her lap.

saat pemakamam suaminya,

beserta putri kecilnya, Bernice, di pangkuannya.

It was this image that taught me

foto ini yang mengajarkan saya

that photography can be way more than wedding pics and birthday snaps.

bahwa fotografi bisa lebih sekadar potret pernikahan atau ulang tahun.

It was this image that let me know that at its best,

Foto inilah yang membuka mata saya bahwa

photography can let us know the work that we need to do.

fotografi bisa mengilhami kita soal apa yang harus dikerjakan.

(Applause)

(Tepuk tangan)

So how did I become an actual photographer?

Lalu, bagaimana saya bisa menjadi fotografer profesional?

Well, the answer of that is love.

Jawabannya adalah cinta.

My wife.

Istri saya.

My wife.

Istri saya.

We fell in love together

Kami saling jatuh cinta

by feeling each other’s invisible scars like braille.

dengan saling merasakan bekas luka yang tak terlihat laksana tulisan braille.

She fell in love with all the parts of myself

Dia jatuh cinta pada semua bagian diri saya

that I was ashamed of.

yang tadinya membuat saya malu.

She looked beyond my anxiety, my imposter syndrome,

Dia melihat melampaui kecemasan saya, sindrom yang menipu,

and she saw a man that maybe had a point of view himself.

dan dia melihat seorang pria yang punya sudut pandang sendiri.

So she bought me a camera for my 40th birthday.

Dia membelikan saya sebuah kamera sebagai hadiah ulang tahun ke-40.

Just five years ago.

Sekitar 5 tahun yang lalu.

So I have a camera now,

Sekarang, saya punya kamera,

I don't know what to do with it.

tapi tidak tahu harus diapakan.

And once again, I go online,

Lagi-lagi, saya membuka internet,

and I teach myself about ISO and aperture on YouTube.

dan saya belajar soal ISO dan diafragma di Youtube.

I teach myself about editing with Adobe Lightroom on YouTube.

Saya belajar mengedit dengan Adobe Lightroom di Youtube.

And there's a great beauty for someone like me

Ada keindahan luar biasa bagi orang seperti saya

to be able to fail and fail in my little office, online,

bisa belajar dari kegagalan di kantor kecil saya, secara daring,

watching free tutorials.

menonton berbagai tutorial gratis.

This is a gift of the internet.

Ini adalah hadiah dari internet.

Everything changed when my daughter was born.

Semuanya berubah saat putri saya lahir.

You see, the thing about not loving yourself

Hal yang membuat Anda membenci diri sendiri

is that when something truly great,

adalah saat sesuatu luar biasa,

something celestial, like a child, comes into your life,

suatu anugerah, seperti seorang anak, hadir di hidup Anda,

you tell yourself you don't deserve it.

Anda berkata pada diri sendiri jika Anda tidak pantas mendapatkannya.

My daughter was premature,

Putri saya lahir prematur,

and I was terrified to be the custodian

dan saya takut harus menjaga sesuatu

of something so beautifully precious.

yang begitu indah dan berharga.

So I hid behind my camera.

Jadi, saya bersembunyi di balik kamera.

And as I kept taking pictures of this little soul and as she got stronger,

Dan terus memotret mahluk kecil ini hingga dia bertambah kuat,

the camera and my daughter taught me how to receive love

kamera dan putri saya mengajari saya cara menerima cinta

and taught me to accept

dan belajar menerima

the immense grace and privilege of being a father.

anugerah dan keistimewaan luar biasa dari menjadi seorang ayah.

This was the most important moment in my photographic journey.

Ini adalah momen terpenting dalam perjalanan fotografi saya.

Two years later, in 2020, George Floyd was killed.

Dua tahun kemudian, tahun 2020, George Floyd terbunuh.

And all of us saw that because of the power of social media.

Dan kita mengetahui hal itu berkat kekuatan media sosial.

And this time we refused to look away.

Untuk kali ini kita menolak mengabaikannya.

I looked to my wife and I said, “I have run out of tears.”

Saya melihat istri saya dan berkata, “Air mata saya sudah kering.”

And she said, "Look to your camera."

Dan dia menjawab, “Lihatlah melalui kameramu.”

And I took my camera to the streets of London,

Saya membawa kamera saya ke jalanan London,

not knowing if I would photograph five people or 5,000.

tak tahu apa saya harus memotret 5 atau 5,000 orang.

And I was able to observe

Saya bisa mengamati

one of the greatest civil rights movements in our lifetime.

salah satu gerakan hak-hak sipil terbesar dalam sejarah.

The global protests after the death of George Floyd

Aksi protes global setelah kematian George Floyd

is something none of us would have expected.

adalah sesuatu yang tidak pernah kita duga.

And my lens was there.

Dan lensa saya ada di sana.

One morning I woke up and I couldn’t open my phone

Suatu pagi saya terbangun dan tidak bisa membuka telepon

because I had so many notifications.

karena begitu banyaknya notifikasi.

The son of Coretta Scott King,

Anak lelaki dari Coretta Scott King,

Martin Luther King III,

Martin Luther King III,

had somehow come across one of my images and posted it on his Twitter.

yang menemukan foto saya dan mengunggahnya di Twitter.

And then the world discovered me.

Lalu, dunia pun mengetahui diri saya.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Millions of people saw these images and now, unbelievably,

Jutaan orang melihat foto-foto ini, dan saat ini, tidak disangka,

British “Vogue” came calling,

Vogue Inggris menelepon,

and they commissioned a then-unknown photographer

mereka menugaskan seorang fotografer tidak terkenal

to shoot the September issue of British "Vogue" 2020.

untuk memotret Vogue Inggris edisi September 2020.

And in doing so, I became the first Black man

Dan untuk itu, saya menjadi orang kulit hitam pertama

to shoot any cover for British "Vogue."

yang memotret setiap sampul Vogue Inggris.

(Applause)

(Tepuk tangan)

It took 104 years to get to my cover.

Perlu 104 tahun untuk mencapainya.

Since then, I've had this extraordinary career

Sejak itu, karier saya menjadi luar biasa

photographing amazing humans, amazing moments.

memotret manusia luar biasa, momen menakjubkan.

But beyond all the glitz and all the glamour,

Namun, di balik semua kemewahan dan kemegahan,

it is really important for me

penting sekali bagi saya

to recognize the intentionality

untuk mengenali maksud

and the empathy of where my lens must look.

dan empati ke mana lensa saya harus diarahkan.

The world is burning right now

Dunia kini sedang panas

and we cannot pass each other by like ships in the night.

dan kita tidak bisa berpapasan seperti kapal di malam hari.

So my lens has to look to where voices need to be lifted.

Jadi, lensa saya harus melihat ke arah suara-suara yang perlu didengar.

I recently have become an ambassador for Save the Children.

Baru-baru ini saya menjadi duta Save the Children.

And I went to Somaliland to cover the famine,

Saya pergi ke Somali untuk meliput bencana kelaparan,

the hunger crisis that is in the Horn of Africa.

wabah kelaparan yang terjadi di negara Tanduk Afrika.

These brave people are suffering because of climate change,

Orang-orang pemberani ini menderita karena perubahan iklim,

something that they add very little to.

hal yang tidak mereka perbuat.

Many of the children are born into a hellscape

Banyak anak-anak lahir di lingkungan yang buruk

that is not of their making.

yang bukan untuk mereka.

1.6 million children are on the verge of acute malnutrition.

1,6 juta anak-anak ada di ambang kekurangan gizi akut.

And I want my images to let you know

Dan saya ingin foto-foto saya membuat Anda sadar

that you cannot say you did not know.

dan tidak bisa mengatakan jika Anda tidak tahu.

So I ask you to use whatever levers of power that you have,

Jadi, saya mohon agar Anda menggunakan segala kekuatan yang dimiliki,

at dinner parties, on your social media,

di acara makan malam, di media sosial Anda,

speak to those that can do something about it

ajak mereka yang bisa melakukan sesuatu

if you cannot yourself.

jika Anda sendiri tidak bisa melakukannya.

I will finish by saying this.

Saya akan mengakhiri ini dengan menyimpulkan,

Do not be afraid to take the road less traveled.

jangan takut melalui jalan yang tidak banyak dilalui orang lain.

Wear your vulnerability with pride.

Gunakan kelemahan Anda dengan bangga.

It is what makes us human.

Itulah yang membuat kita menjadi manusia.

This age of perceived perfection,

Zaman kesempurnaan

it's over.

telah usai.

Very few of us are OK, and that's OK.

Jika hanya sedikit dari kita baik-baik saja, itu tidak masalah.

And to the parents and teachers

Kepada orang tua dan guru

that are looking after children with different minds,

yang punya anak-anak dengan kondisi berbeda,

please let them know about the power

beri tahu mereka soal kekuatan

and possibility of their minds.

dan kemungkinan kekuatan pikiran mereka.

Because they may have the answers

Karena mereka bisa saja punya jawaban

that will allow all of us to look toward the horizon together.

yang akan membawa kita melihat cakrawala bersama-sama.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)